Published On: Rab, Jan 20th, 2016

Revisi UU Terorisme Dikhawatirkan Merugikan Warga

Share This
Tags
(foto:Ist)

(foto:Ist)

JAKARTA,IJN.CO.ID – Upaya merevisi Undang-undang Terorisme yang banyak ditentang sejak diungkapkan empat tahun lalu, mendapat momentum baru dari serangan teror di Sarinah, Jakarta, namun para aktivis memperingatkan potensi bahayanya bagi kebebasan sipil.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras), Harris Azhar mencemaskan bahwa histeria akibat serangan teror di Jakarta yang menewaskan delapan orang, termasuk empat pelaku itu, membuat publik jadi menginginkan apa yang mereka pikir sebagai jalan pintas untuk memperoleh jaminan keamanan melalui revisi UU Terorisme.
Menurut Haris, “sudah sejak mulai diwacanakan sekitar empat tahun lalu, pemerintah selalu menggunakan momentum serangan teror seperti (di Sarinah) ini untuk mengangkat lagi ide merevisi UU Terorisme. Jadi ini lagu lama, sebetulnya.”
Kalangan pembela HAM menyebut, gagasan revisi UU itu jika dilakukan, akan mengancam kebebasan sipil dan kebebasan berpendapat. Dan bisa disalahgunakan untuk memberangus kalangan yang tak sepaham dengan pemerintah, lebih-lebih di daerah bergolak seperti di Papua.
Permintaan Polisi
Dalam pertemuan dengan para pimpinan lembaga negara di Istana Negara Selasa (19/01) Presiden Joko Widodo mengemukakan bahwa revisi itu sedang didiskusikan untuk mengkaji apakah UU sekarang sudah cukup kuat dan efektif dalam mencegah dan memberantas terorisme.
Dipaparkan Ketua MPR Zulkifli Hasan, dalam pertemuan itu dibahas sejumlah persoalan kritis terkait terorisme yang tak tercakup oleh undang-undang yang ada.
“Misalnya latihan perang yang menggunakan pedang kayu oleh terduga kelompok teroris, bergabungnya warga Indonesia (dengan organisasi yang dinyatakan kelompok teror) di Suriah dan Irak, permufakatan jahat dari orang-orang yang merencanakan serangan bom -itu semua belum dicakup oleh undang-undang,” papar Zulkifli Hasan pula.
Disebutkan Zulkifli, polisi meminta agar hal-hal itu dimasukkan dalam revisi.
Usulan yang sudah banyak dilontarkan selama beberapa waktu, memang terutama berfokus pada kewenangan tindakan penangkapan dan penahanan, antara lain menyangkut lamanya penahanan sebelum dikenakan status tersangka, seperti dipaparkan Agus Rianto, juru bicara Polri.
“Pendalaman terhadap mereka yang diduga terkait teror itu selama ini 7×24 jam. Nah itu sedapat mungkin bisa ditambah, apakah menjadi 20 hari atau berapa -ini harus dibahas lagi,” kata Agus Rianto.
“Yang jelas, (penahanan) tujuh hari itu terlalu singkat. Sementara bukti-bukti yang harus kita kumpulkan juga tidak sedikit, kecuali mereka yang sudah dari awal didapatkan bukti-buktinya yang kuat,” kata Agus Rianto pula.
Sebelumnya, Kapolri Badrodin Haiti kepada para wartawan pernah mengatakan, bahwa langkah pencegahan teror seringkali terhambat karena tak ada dasar hukum.
“Untuk menindak, polisi terikat ketentuan bahwa yang bersangkutan harus melakukan pidana,” kata Badrodin.
Padahal, “seringkali polisi sudah mengetahui potensi orang-orang untuk melakukan aksi teror, tetapi tidak bisa bertindak karena tidak ada pelanggaran hukumnya,” katanya seperti dikutip media.(BBC)