Penderita Nomophobia Cenderung Stres (Bagian:Pertama)
IJN.CO.ID – Fenomena nomophobia yang saat ini semakin populer di kalangan pengguna ponsel pintar menjadi topik yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Perkembangan ponsel pintar yang semakin pesat ternyata tidak hanya menimbulkan efek positif buat masyarakat, namun ada juga efek negatifnya, salah satunya adalah nomophobia. Nomophobia sendiri merupakan singkatan dari no mobile phone phobia, sebuah penyimpangan psikis yang dipengaruhi oleh ketergantungan seseorang terhadap ponsel atau suatu kecemasan berlebih yang dirasakan oleh seseorang karena terpisah dari ponsel yang dia miliki.
Data survey menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun penderita nomophobia semakin meningkat. Tahun 2008, penderita nomophobia di Amerika mencapai 53%. Pada tahun 2012 berdasarkan hasil study SecurEnvoy di Inggris melalui jajak pendapat OnePull, dari 1.000 orang yang disurvey sekutar 66% menyebutkan takut kehilangan atau pergi kemana-mana tanpa ponsel. Ditahun yang sama LA Times juga menyebutkan bahwa angka tersebut naik signifikan.
Hasil study tersebut juga memperlihatkan bahwa pria lebih khawatir hidup tanpa ponsel, sementara kaum wanita cenderung memilih untuk tidak terkoneksi. Namun uniknya, sebanyak 70% responden wanita takut kehilangan ponsel sementara pria ha-nya 61 %. Ini kemungkinan rata-rata pria memiliki dua ponsel ketimbang wanita.
Begitu pula berdasarkan usia bahwa pengguna ponsel berusia 18 hingga 24 tahun, adalah golongan yang paling nomophobic yakni sekitar 77 %, disusul usia 25 hingga 34 tahun sebanyak 68 % dan usia 54 tahun ke atas. Bahkan ditahun 2014 prosentase pengidap nomophobia meningkat hingga mencapai 85% dan angka tersebut dapat terus meningkat hingga saat ini. Apalagi untuk bangsa di Asia yang di-kenal lebih kekeluargaan dan harmony.
Berdasarkan penelusuran yang le-bih mendalam, dua faktor utama pe-nyebab ketergantungan adalah game addicted (kecanduan game) dan sindrom FoMO (Fear of Missing Out) atau lebih dikenal sebagai ketergantungan seseorang terhadap jejaring sosial.
Ketergantungan Masyarakat Terhadap Ponsel
Telpon Pintar (Smartphone) sudah menjadi bagian hidup masyarakat mo-dern. Dengan Telpon Pintar kita dapat berkomunikasi, berbagi cerita, bergosip, mencari hiburan, melihat berita bahkan curhat melalui facebook, twitter, istagram, skype, google+, YM, line, whatsapp, path, skype, kakao talk, wechat, messagame, dan masih banyak lainnya.
Hal tersebut tentunya turut mempersubur ketergantungan masya-rakat modern terhadap smartphone. Apalagi banyaknya smartphone murah meriah dan service provider menawarkan paket data 5 ribu dan 10 ribu membuat gaya hidup seperti ini juga menjangkiti pelajar, mahasiswa, blue collar (pekerja kasar), dan masyarakat kelas bawah. Mereka tidak bisa hidup bahagia tanpa smartphone dan alat-alat pendukungnya.
Mood mereka bisa berubah buruk jika masuk daerah yang tidak didukung 3G. Mereka bisa panik jika telponnya ketinggalan. Mereka bisa menjadi cemas luar biasa jika smartphone low bat dan berubah menjadi ketakutan jika mereka lupa bawa char-ger dan powerbank. Mereka bisa sa-ngat murung jika smartphone nya kehabisan pulsa.
Mereka bisa menjadi emosional begitu smartphone nya tidak berfungsi. Mereka tidak bisa tahu kabar dari teman-teman facebook nya. Tidak bisa melihat timeline teman twitter nya. Tidak bisa bercerita lewat foto dengan teman instagram-nya. Tidak bisa curhat dengan teman BB nya. Tidak bisa senyum-senyum melihat moment teman path nya, dan lain sebagainya. Akhirnya, kebahagiaan mereka betul-betul sangat bergantung pada smartphone.
Keadaan tidak bahagia, cemas dan takut jika terganggu atau tidak bisa mengakses ponsel secara berlebihan (nomophobia) tentunya mempengaruhi psikologis berupa jenis kelainan psikologis yang disebut OCD (Obsessive Compulsive Dissorder) yaitu suatu gangguan anxietas di mana pikiran dipenuhi dengan pemikiran yang menetap dan tidak dapat dikendalikan dan individu dipaksa untuk terus-menerus mengulang tindakan tertentu, menye-babkan distress yang signifikan dan mengganggu keberfungsian sehari-hari.
Tentunya dalam tingkatan yang wajar nomophobia tidaklah terlalu mengganggu. Namun dalam kadar yang berlebihan tentunya tidak dapat dibiarkan, misalnya stadium satu atau sudah stadium tiga. Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat perhatikan : Mulai dari Ibu rumah tangga menggoreng ikan sampai gosong karena nomophobia, sampai dengan renggangnya hu-bungan dengan anak dan pasangan.
Curhat yang berlebihan berupa picture, status, lagu yang sedang didengar yang merupakan media pengungkapan rahasia hati yang sebenarnya bersifat privacy dan tidak boleh sembarang orang tahu. Bahkan ada yang kebablasan menjadi pengungkapan aib diri dan keluarganya. Ajang pamer dan ria dalam berbuat kebajikan. Sampai saat umroh-pun lebih banyak berbagi picture daripada jumlah tawafnya selama di tanah suci. Mempersubur pengidap penya-kit exhibitionism.
Mempersubur wanita/pria yang punya penyakit narcism. Camera360 telah membangun kecantikan/ketampanan artificial yang semu dan menipu diri sendiri. Media sosial telah menjadi pelampiasan dan pelepasan rasa galau yang salah alamat dan salah arah. Bahkan hasil survey membuktikan bahwa karyawan menurun kinerjanya dan para pelajar menurun prestasi belajarnya karena nomphobia
Dr. Elizabeth Waterman dari Morningside Recovery Center di California mengemukakan bahwa hubungan penderita nomophobia dengan dunia luar juga akan mengalami gangguan, karena saat berkomunikasi dengan orang lain, matanya tertuju kepada ponselnya. Orang lain merasa tidak nyaman dengan itu, sehingga mengganggu komunikasi sosial dengan orang-orang di sekitarnya.
(heri/berbagai sumber)