Panglima TNI Jenderal Moeldoko: Masa Kecil Hidup Susah dan Pekerja Keras
IJN.CO.ID – Membantu menyediakan pasir dan batu yang diangkut dari pinggir kali menjadi rutinitasnya setiap hari seusai pulang sekolah. Selain terlibat langsung mengatur datangnya truk pengangkut material, Moeldoko yang saat itu berperawakan kecil itu tidak canggung bersama para buruh membelah batu yang sedianya disiapkan untuk proyek plengsengan Ploso-Braan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Singkat riwayat, sejak kecil ia seorang pekerja keras. Selalu berkeringat, cekatan dan nyaris tak pernah melipat jemari tangan. Semua dikerjakannya. Apa yang bisa menopang kebutuhan keluarga dilakukanya. Maklumlah, kedua orangtuanya bukan berasal dari golongan ekonomi mapan. Hidup orang tuanya susah dan jauh dari perkotaaan.
Saat menginjak sekolah dasar, gedung sekolahnya sering dilanda banjir, sehingga ia harus berpindah ke pengungsian tiap kali air menggenangi tempatnya menimba ilmu. Ia pun mengaku pernah mengalami kelaparan lantaran orang tuanya tak mampu membeli segenggam beras untuk mengisi perut Moeldoko kecil.
Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), ia berjalan kaki ke stasiun dan naik kereta untuk sampai ke sekolah setiap harinya. Meski teman-temannya saat itu sudah memiliki sepeda, ia tidak merasa kecil hati. Kokok ayam dan awan gelap menjadi saksi sang Panglima kecil berlari-lari mengejar kereta.
“Waktu sekolah SMP itu sepeda nggak punya, saya harus naik kereta api, jauh dan lari-lari. Dari jam 04.00 pagi saya sudah lari-lari. Pulangnya saya itu nyari boncengan atau menunggu truk yang searah ke kampung saya,” urai Moeldoko mengenang masa kecilnya saat mengadakan buka puasa bersama 3.000 anak yatim piatu se-Jabodetabek di Gelanggang Olahraga Ahmad Yani, Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis 9 Juli 2015.
Ia pun menyunggingkan senyum saat mengingat ulahnya saat menumpang truk. Moeldoko mengaku, ia sering mencuri buah kopra di tengah perjalanan pulang untuk mengisi perutnya yang keroncongan.
Bocah lugu, polos yang hidup serba kekurangan puluhan tahun silam itu kini berdiri gagah sebagai jendral berbintang. Moeldoko (58) namanya.
“Saat Moeldoko masih berada dalam kandungan, bapak dan ibu berpuasa hingga 40 hari. Orang tua berharap kelak anaknya bisa menjadi orang besar,” tutur Haji Muhammad Sujak (76), kakak kandung Jendral Moedoko kala di rumahnya di Desa Pesing.
*****
Sidang Paripurna DPR RI 27 Agustus 2013 lalu telah menyetujui tokoh militer asal Desa Pesing, Kecamatan Purwoasri, Kabupaten Kediri tersebut menjadi Panglima TNI Republik Indonesia, menggantikan Laksamana Agus Suhartono yang pensiun akhir Agustus 2013.
Rumah yang ditempati Sujak ini adalah tempat tinggal mendiang pasangan suami istri Moestaman dan Hj Masfuah, yang juga orang tua Jendral Moeldoko.
Bangunannya tidak banyak berubah. Tidak ada renovasi. Ukurannya tetap kecil, memanjang ke belakang, sedikit menjorok ke dalam, dan sederhana. Temboknya terlihat tua, rapuh dan kurang terpelihara. Di depan teras, terhampar pelataran semen yang berfungsi untuk menjemur pakaian dan mengeringkan bulir padi panenan. “Di sinilah Moeldoko (Jendral Moeldoko) lahir dan dibesarkan, “terang Sujak di dampingi keponakannya.
Sebuah foto Jendral Moeldoko berbingkai murah tampak menghias dinding ruang tamu. Foto itu baru dipasang bersamaan digelarnya acara tasyakuran jabatan Panglima TNI belum lama ini.
Dibalik tembok dinding adalah kamar Moeldoko. Di ruangan berukuran sekitar 3×5 meter itulah Moeldoko biasa melepas penat setelah seharian sekolah dan bekerja. Di kamar yang tidak banyak berubah itu mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu biasa menghabiskan waktu bermanja-manja dengan ibundanya.
“Dia itu (Moeldoko) ketika kecil sampai besar (SMA), setiap tidur selalu bersama ibu. Kamar itu dulu sebagian dindingnya anyaman bambu (gedek), “jelasnya mengenang.
Di keluarga, Moeldoko adalah bungsu dari 12 bersaudara. Sujak adalah putra pertama dengan tiga orang adik yang meninggal dunia ketika Moeldoko masih kecil.
Selain Moeldoko, Sujak juga memiliki adik bernama Sugeng Hariyono yang pernah menjadi Danramil Purwoasri. Kemudian Siti Rahayu, Supiyani yang bersuamikan tentara bernama Sabar berpangkat mayor, dan Suyono yang memangku kepercayaan kaur Desa Pesing.
Menurut Sujak, almarhum ayahnya (Moestaman) hanyalah seorang pedagang palawija ala kadarnya. Sementara Mustamah, mendiang ibunya, seorang istri dan ibu rumah tangga biasa. Anak yang relatif banyak, dan penghasilan yang tidak menentu, membuat hidup keluarga ini serba kekurangan.
Kendati demikian Moestaman dipercaya memangku jabatan sebagai perangkat keamanan (jagabaya) di desa. “Karena keterbatasan itu, keluarga kami, termasuk Moeldoko terbiasa menjadikan jagung dan singkong sebagai makanan pokok sehari-hari,” jelas Sujak mengingat.
Meskipun miskin, Moestaman tetap menekankan prinsip hidup bahwa anaknya harus mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Moeldoko mengenal pendidikan pertama di Sekolah Dasar Negeri Juntok 1. Kemudian setelah itu melanjutkan ke SMP Negeri Papar, Kabupaten Kediri. “Dari Papar, Moeldoko kemudian ikut saya di Jombang, sekolah di Sekolah Menengah Pertama Pertanian (SMPP),” kenang Sujak.
Saat itu Sujak bekerja sebagai pemborong proyek pembangunan plengsengan. Program brantas tengah yang memanjang dari wilayah Braan hingga Ploso dengan mengambil batu dari Grebek, Kabupaten Nganjuk. “Meski tidak pernah lepas berpuasa, setiap pulang sekolah Moeldoko ikut membantu bekerja. Mengatur truk pengangkut material hingga memecah batu, “kenangnya.
Lulus SMPP, Moeldoko langsung berlanjut ke Akademi Militer (Akmil) Magelang mulai tahun 1977. Mantan Pangdam XII Tanjungpura, Pangdam III Siliwangi dan Wagub Lemhanas itu lulus Akmil tahun 1981 dan mendapat anugerah bintang Adhi Makayasa sebagai lulusan terbaik.
*****
Bagaimana dengan kisah perjodohan Jendral Moeldoko dengan Ny Koesni Harningsih dan telah memberinya dua orang buah hati?
Sebagai saudara paling dekat, Sujak mengaku tahu bagaimana adiknya bertemu dengan calon istrinya berlangsung tidak sengaja. Moeldoko yang menemani Supiyani (kakaknya) ke Malang, diajak mampir ke rumah almarhum Kasim di Pandaan. Kasim yang kelak menjadi mertuanya adalah pemilik usaha PT Batu Mas. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang transportasi angkutan dan pemborong bangunan.
“Begitu pertama kali bertemu, calon mertuanya itu langsung suka dan meminta Supiyani menjodohkan adiknya (Moeldoko) dengan anaknya (Koesni Harningsih), “terang Sujak.
Pernikahan Moeldoko dengan Koesni Harningsih dikaruniai dua buah hati, yakni Randy Bimantoro yang menjadi pengusaha di Bandung dan Novi yang saat ini masih menempuh pendidikan di Inggris.
Sujak mengatakan bahwa mertua Moeldoko adalah orang yang sangat berada. Kondisi ekonomi yang jauh diatas bila dibandingkan dengan keluarga Moeldoko sendiri. Keterangan Sujak secara tidak langsung menepis dugaan buruk terkait nilai kekayaan Jendral Moeldoko yang mencapai Rp36 miliar.
Sebab selain dari hasil bertugas kemiliteran lama di luar negeri, yakni digaji USD125 per hari, ada sumber yang menyebutkan kekayaan Jendral Moeldoko berasal dari warisan mertuanya.
Kini Jenderal Moeldoko telah memasuki masa pensiun. Moeldoko mengaku telah menyusun rencana yang akan dilakukan setelah dirinya pensiun nanti. Antara menjadi dosen, mengajar bidang keilmuan yang ia kuasai. Dia mengatakan sudah banyak kampus baik itu swasta maupun kampus negeri yang menawarkannya menjadi tenaga pengajar. Namun bila negara memanggil memerlukan bantuannya, Jenderal Moeldoko siap menerima.(berbagai sumber/IJN)