KPK Berpotensi ‘Dihabisi’ di Era Jokowi
JAKARTA,IJN.CO.ID -Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti menilai satu tahun pemerintahan Joko Widodo lemah dalam bidang hukum. Sehingga, ke depannya, dalam konteks masa depan Komisi Pemberantasan Korupsi, ia memprediksi KPK akan terus ‘diserang’.
“Titik serangnya banyak sekali,” ujar Bivitri dalam diskusi Setahun Pemerintahan Jokowi dan Masa Depan KPK di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Jakarta, Kamis 29 Oktober 2015.
Ia mencontohkan, titik serang untuk ‘membunuh’ KPK di masa pemerintahan Jokowi mendatang cenderung bisa dilakukan dengan mekanisme memperlemah desain institusional KPK.
Menurutnya, ada sejumlah pihak yang jelas bisa memperlemah KPK, yaitu para pembuat undang-undang diantaranya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Juga melalui DPR dan pemerintah, kata dia, KPK bisa dilemahkan dari segi anggaran. Sejauh mana anggaran yang disepakati DPR dan pemerintah bisa menguatkan KPK, atau sebaliknya. Pihak lain yang berpotensi juga untuk ‘membunuh’ KPK, yaitu Mahkamah Konstitusi.
“Kenapa MK berpotensi membunuh KPK? Karena MK bisa membatalkan norma yang ada dalam undang-undang, termasuk UU KPK,” ujarnya.
Sebagai contoh, saat ini, tersangka kasus korupsi suap hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menguji materi UU KPK soal penyidik KPK.
Selanjutnya, mekanisme memperlemah KPK tersebut juga bisa dilihat dari siapa komisioner KPK yang akan dipilih ke depan. Sebab, berdasarkan pengalaman sebelumnya, komisioner KPK yang dianggap kuat malah dikriminalkan. Sebaliknya, komisioner yang akan dipilih nanti cenderung melemahkan KPK.
Tidak hanya sampai di situ, secara kasat mata, potensi serangan kepada KPK, juga bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada di sekitar Jokowi. Sebagai petugas partai, Jokowi terikat dengan partai politik yang memiliki jaringan dana politik melalui bisnis dan kekuasaan. Sehingga, partai politik jelas tidak mungkin akan bisa netral.
Sebagai aktor politik, banyak keputusan penting yang sebenarnya bisa diambil Jokowi, tetapi pada kenyataannya tidak diambil. Sehingga, dalam konteks politik, ketika Jokowi tidak mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu, bukan karena dia tidak bisa, tetapi memang tidak mau.(sumber:vivanews)