Konsep Dunia Baru: Pidato Pancasila Soekarno di PBB Tahun 1960 (Bagian Pertama
IJN.CO.ID – Semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berdiri saat Presiden Pertama Indonesia Ir.Soekarno mengakhiri Pidato yang berintikan Pancasila Untuk Dunia Baru. Mata dunia menuju sosok Proklamator Indonesia, Amerika Serikat dan Uni Sovyet yang ‘berperang dingin’ mulai memperhitungkan Putra Bangsa Indonesia ini. 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahirnya Pancasila, Anda penasaran apa yang dikatakan Bung Karno di hadapan dunia ?
Berikut cuplikkan pidato tersebut:
Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan sesuatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya. Sejarah Indonesia kami sendiri memperlihatkannya dengan jelas, dan demikian pula halnya dengan sejarah seluruh dunia.
“Sesuatu “itu kami namakan” Panca Sila “. Sudah, “Panca Sila” atau Lima Sendi Negara kami. Lima Sendi itu tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Memang, gagasan-gagasan dan cita-cita itu, mungkin sudah ada sejak berabad-abad telah terkandung dalam bangsa karni. Dan memang tidak mengherankan bahwa faham-faham mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad keberhasilan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.
Jadi berbicara tentang Panca Sila dihadapan Tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari peradaban kami selama dua ribu tahun.
Apakah Lima Sendi itu? la sangat sederhana : pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua Nasionalisme, ketiga Internasionalisme, ke-empat Demokrasi dan kelima Keadilan Sosial,
Perkenankanlah saya sakarang menguraikan sekedarnya tentang kelima pokok itu.
Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama. Ada yang Islam, ada yang Kristen ada yang Budha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian untuk delapan puluh lima persen dari sembilan puluh dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari para pengikut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini, dan mengingat akan berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafah hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhanpun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima Sila pertama ini.
Kemudian sebagai nomor kedua ialah Nasionalisme. Kekuatan yang membakar dari nasionalisme dan hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup kami dan memberi kekuatan kepada kami sepanjang kegelapan penjajahan yang lama, dan selama berkobarnya pejuangan kemerdekaan. Dewasa ini kekuatan yang membakar itu masih tetap menyala-nyala didada kami dan tetap memberi kekuatan hidup kepada kami! Akan tetapi nasionalisme kami sekali-kali bukanlah Chauvinisme. Kami sekali-kali tidak menganggap diri kami lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Kami sekali-kali tidak pula berusaha untuk memaksakan kehendak kami kepada bangsa-bangsa lain. Saya mengetahui benar-benar bahwa istilah “nasionalisme” dicurigai, bahkan tidak terpercaya di negara-negara Barat. Hal ini disebabkan karena Barat telah memperkosa dan memutar balikan nasionalisme. Padahal nasionalisme yang sejati masih tetap berkobar-kobar di negara-negara Barat. Jika tidak demikian, rnaka Barat tidak akan menantang dengan senjata chauvinisme Hitler yang agresif.
Tidakkah nasionalisme ? sebutlah jika mau, patriotisme – mempertahankan kelangsungan hidup semua bangsa? Siapa yang berani menyangkal bangsa, yang melahirkan dia? Siapa yang berani berpaling dari bangsa, yang menjadikan dia? Nasionalisme adalah mesin besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita; nasionalisme adalah sumber besar dan inspirasi agung dari kemerdekaan.(jef)