Kepala BIN Sutiyoso : Rakyat Tidak Perlu Takut Tapi Tetap Waspada

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso mengadakan jumpa pers di Kantor Badan Intelijen Indonesia, Pejaten, Jakarta Selatan (15/1) .(fie)
JAKARTA, IJN.CO.ID – Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso mengatakan instansinya sudah memberikan sinyal potensi serangan teroris sejak November 2015. Namun, ucap dia, serangan teroris memang sulit dideteksi.
“Aparat keamanan, seperti Polri yang memiliki kewenangan penangkapan dan pengamanan, juga terbatas,” imbuhnya.
Sutiyoso berharap agar BIN diberi kewenangan untuk menangkap dan menahan mereka seperti halnya pihak kepolisian. Salah satunya saat dia kesulitan memburu teroris karena dinilai kurang bukti. Sutiyoso memberi contoh ketika BIN mendapat foto latihan teroris, “Misalnya kita punya bukti foto orang latihan penembakan, tapi ternyata pistol yang digunakan terbuat dari bahan kayu. Jadi dianggap buktinya lemah,” terang Sutiyoso pada saat jumpa pers di Kantor BIN, Pejaten, Jakarta Selatan (15/1)
Untuk itu, pihaknya pun mengusulkan kepada pemerintah agar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme direvisi. Sebab menurutnya agar dapat menangani terorisme hingga ke akar-akarnya, BIN harus memiliki kewenangan menangkap dan menahan mereka.
Sutiyoso menilai kasus penangkapan teroris di negara-negara lain lebih terukur. Di mana, mereka langsung mengantisipasi meluasnya terorisme di negaranya dengan langsung mengubah sistem undang-undang terorisme sehingga memiliki kewenangan untuk menangkap dan menahan.
“Mari kita lihat negara-negara lain dalam penanganan terorisme, di negara kita tergolong sangat mengedepankan proses hukum dan HAM. Sementara negara-negara barat, seperti AS, Perancis dan negara Eropa membuat keseimbangan dengan menghormati HAM dan kebebasan,” terangnya.
“Malaysia saja sudah mengubah undang-undang terorisme karena mereka dianggap membahayakan. Jika ada warganya yang pulang dari Siriah diberi sebuah gelang elektronik sehingga 24 jam mereka dapat dipantau oleh intelijen,” tambah Sutiyoso.
“Serangan teroris ini atidak mengenal waktu, ruang, dan sasaran, sehingga sulit dideteksi,” ujar Sutiyoso lagi, kesulitan tersebut, tidak hanya dialami Indonesia, tapi juga sejumlah negara lain, seperti Amerika Serikat, Prancis, Thailand, dan Turki.
Pernyataan ini menanggapi sejumlah pandangan yang menyebutkan BIN kecolongan atas ledakan bom di pos polisi depan gedung Sarinah dan depan Starbucks, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis kemarin.
Sutiyoso menjelaskan, sinyal potensi serangan diberikan menyusul kembalinya seratus kombatan ISIS asal Indonesia. BIN juga berkaca pada banyaknya jumlah narapidana terorisme yang sudah bebas, yaitu 423 orang. “Di Indonesia juga ada pelatihan yang dilakukan kelompok-kelompok radikal,” katanya.
Menjelang Natal dan tahun baru lalu, BIN telah berbagi informasi melalui Komite Intelijen Daerah (Kominda) dan Komite Intelijen Pusat (Kominpus) terkait dengan ancaman teror. “BIN bahkan sudah menyampaikan kemungkinan serangan pada 9 Januari 2016, tapi ternyata tidak terjadi, dan mereka baru melakukannya tanggal 14 Januari 2016” ucap Sutiyoso.
Sutiyoso meminta agar warga terus membantu untuk memberikan informasi jika mencurigai adanya teroris. Sebab, ujarnya, serangan teroris tak mengenal tempat, waktu, dan sasaran. Sutiyoso mengimbau agar warga tidak takut tetapi selalu waspada.(fidel)