Gerakan Nasional Pencanangan Hari Bhinneka Tunggal Ika
Jakarta, IJN.CO.ID – Kasus Singkil di Aceh, Tolihara, Papua dan Salim Kancil Lumajang adalah salah satu bentuk kegagalan dalam mengelola keberagaman di Indonesia, pencanangan gerakan semangat Bhinneka Tunggal Ika acara digelar pada Museum Gedung Joang 45, Jalan Menteng Raya 31, Jakarta. Sabtu (17/10).
Nilai Kebhinekaan Tunggal Ika yang telah dimiliki bangsa Indonesia sejak berdirinya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Bahkan sampai saat ini rasa kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia semakin pudar. Tentu saja hal ini perlu adanya menumbuhkan kembali dan membangun bangsa
Ketua Yayasan Komunitas Indonesia Sejati Michael Tedja dalam sambutannya memberika wacana tentang kebhinekaan Tunggal Ika di negara kita.
Agus Santoso, S.H LLM. selaku wakil Kepala PPATK dan Pembina YAKIN mengatakan, “Warisan keanekaragaman yang diwarisi oleh kita dengan melalui perjalanan panjang sejarahnya telah mengalami proses interaksi budaya dalam hubungan antar kerajaan, antar suku, dan antar manusia di nusantara ini serta proses akulturasi dengan bangsa-bangsa Asia lainnya, serta proses kolonisasi bangsa barat yang panjang dan juga bangsa Jepang, dalam hal ini, pemerintah telah memformalkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.” ujarnya.
“Sudah selama 70 tahun Indonesia merdeka sudah tentu warisan nilai-nilai keanekaragaman yang mewujud ini menjadikan kebanggaan bangsa kita sebagai kekayaan dan sekaligus perekat bagi bangsa Indonesia. Tetapi sayangnya hal tersebut masih dirasakan sisi-sisi negatifnya, seperti masih terbentuknya sentimen kedaerahan dan sentimen keagamaan yang kuat, bahkan berekskalasi sehingga bisa menjadi pemicu konflik horizontal di antara warga negara Indonesia sendiri.”lanjutnya.
Asep Kambali selaku Sejarawan mengatakan,” Bhineka Tunggal Ika yang mengandung makna “berbeda-beda tetapi tetap satu jua” ini menggambarkan persatuan dan kesatuan nusa dan Bangsa Indonesia, maka Pemerintahpun juga mempertegasnya dalam UU No. 24 Thn 2009.” Ucapnya.
“Sekarang ini negeri ini butuh pemuda-pemuda Indonesia yang tangguh dan mampu berkompetisi dengan pemuda-pemuda mancanegara dalam era globalisasi. Dengan perbedaan yang nyata ini merupakan persaingan kita dengan kemajuan negara-negara lainnya. Bagi kita perbedaan itu adalah suatu keindahan yang harus dijaga selalu.” Ujar Asep.
DR Ichsan Malik selaku IM Center untuk Dialog dan Perdamaian dan Prof Willi Toisuta PhD —Univeritas Sunshine Coast Queensland Australia
Diana