Data BPS 23,8 Juta, Bank Dunia 194 Juta Orang Miskin Kok Beda?

Ilustrasi/Istimewa

Jakarta,IntiJayaNews.com – Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Media Wahyudi Askar, menilai jumlah penduduk miskin versi pemerintah yang terkesan kecil dapat mempengaruhi alokasi anggaran perlindungan sosial (perlinsos) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

BPS mencatat jumlah penduduk miskin per Maret 2025 mencapai 8,47% dari total populasi Indonesia, atau sekitar 23,8 juta jiwa.

Sementara itu, Bank Dunia mencatat sekitar 68,2% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional, atau setara 194,4 juta jiwa.

CELIOS meyakini bahwa jumlah penduduk miskin yang aktual di lapangan jauh lebih besar daripada angka resmi pemerintah. Laporan terbaru Bank Dunia mencatat sekitar 68,2% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional, atau setara 194,4 juta jiwa. Angka ini sangat berbeda dengan data BPS yang hanya mencatat 8,47% atau 23,8 juta orang sebagai penduduk miskin.

Meskipun metodologi keduanya berbeda, disparitas hingga delapan kali lipat ini menunjukkan adanya masalah dalam definisi kemiskinan yang digunakan pemerintah. BPS sendiri sudah hampir lima dekade menggunakan pendekatan pengukuran kemiskinan berbasis pengeluaran, dengan komponen konsumsi yang dianggap tidak lagi sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini.

Menurut Media, pendekatan pengukuran BPS yang sudah tidak relevan ini diperparah oleh sistem pendataan yang mensyaratkan bahwa penerima bantuan sosial (bansos) harus terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

“Jika garis kemiskinan terlalu rendah, maka otomatis banyak masyarakat rentan yang tidak terjaring dalam kategori miskin sesuai data DTKS, dan akhirnya tidak menerima bantuan sosial apa pun,” ujar Media.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa masih banyak warga yang sebenarnya layak menerima bantuan, namun tidak tercakup dalam program perlindungan sosial akibat definisi kemiskinan yang terlalu sempit.

Penurunan angka kemiskinan yang hanya 0,1 persen poin juga mengindikasikan bahwa meskipun ada masyarakat yang berhasil keluar dari garis kemiskinan, jumlah orang yang jatuh miskin atau menjadi miskin baru tetap tinggi. Akibatnya, penurunan bersih yang terjadi sangat kecil dan tidak mencerminkan kemajuan signifikan dalam perbaikan kesejahteraan.(Sumber: okezone)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *