CSIS: Bangsa Ini Sudah Sangat Lelah, Begitu Banyak Manipulasi!

Mahasiswa dari Aliansi Dewan Eksekutif Mahasiswa Indonesia menyebarkan kelopak bunga selama demonstrasi untuk menegaskan kembali "Tuntutan Rakyat 17+8", di depan kompleks Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta pada 4 September 2025./BBC News Indonesia

Jakarta,IntiJayaNews.com – Peneliti senior departemen politik dan perubahan sosial CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Vidhyandika Djati Perkasa, meyakini masyarakat saat ini lebih cerdas dan kritis melihat tindakan yang dilakukan oleh para pejabat negara, baik eksekutif maupun legislatif.

Hal itu menanggapi kerusuhan demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia

Bacaan Lainnya

“Yang kita butuhkan adalah suatu perubahan nyata. Bukan suatu kosmetik politik yang istilahnya itu untuk mengelabui. Seakan-akan memenuhi keinginan masyarakat. Itu udah enggak mempan lagi di dunia yang sangat terbuka dan kritikal,” ungkapnya seperti dikutip dari BBC News Indonesia.

Menurut dia, masyarakat sudah memahami adanya upaya untuk mempersempit ruang publik. Ia memberikan contoh pemberian konsesi tambang pada sejumlah organisasi keagamaan ini menjadi sedikit cara kekuasaan membungkam elemen kritis masyarakat.

Belum lagi, ada pertemuan Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka dengan sejumlah pengemudi ojek online yang juga menuai tanya dan pemberian sembako di Gondangdia, Jakarta.

Kemudian, pertemuan DPR dengan mahasiswa pasca rentetan aksi selama sepekan yang kemudian juga menuai polemik ini dinilainya wajar terjadi. “Rasanya bangsa ini sudah sangat lelah dengan begitu banyak manipulasi. Memang saat ini, DPR dan pemerintah cukup terdesak sehingga melakukan hal ini untuk meredam amarah,” ucap Vidhyandika.

Misal, terkait tunjangan yang dibatalkan, DPR harus membuka surat resmi pembatalannya secara terbuka kepada publik. Begitu pula dengan penonaktifan anggota DPR, alih-alih memberhentikan sehingga tidak lagi menerima hak dan fasilitas sebagai anggota DPR.

Pertemuan atau dialog juga dilihatnya bentuk politik performatif lain. Ia memberi gambaran ketika Presiden Joko Widodo pada periode lalu yang mengundang perwakilan Papua untuk membicarakan masalah di sana yang mendapat kritik dari warga di Papua karena bukan merupakan wakil mereka.

“Jadi ada permasalahan representasi di sini sehingga kemudian muncul istilahnya elemen masyarakat buatan, massa pilihan mereka untuk menunjukkan bahwa mereka sudah mendengarkan aspirasi. Bisa jadi juga ini upaya untuk memecah masyarakat di tengah krisis politik yang sering terjadi,” kata Vidhyandika.(BBC News)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *