BPJS ‘Gonjang-Ganjing’ Pajak Rokok Jadi Sasaran
JAKARTA,IJN.CO.ID – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan didesak memeriksa ulang pos-pos pengeluaran yang menyebabkan neraca keuangan mereka selalu defisit dalam tiga tahun terakhir.
Sudaryatmo dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, BPJS sebaiknya mengecek kembali kesesuaian penanganan medis dan ongkos yang mereka bayar kepada rumah sakit swasta.
Menurut Sudaryatmo, penyedia layanan medis ‘berpotensi melakukan kecurangan’ (fraud) yang dapat menguras keuangan BPJS.
“Sekitar 80% biaya manfaat habis untuk rumah sakit, bisa pemerintah dan swasta. Khusus rumah sakit swasta, perlu dilihat lebih rinci, wajarkah klaim mereka,” kata Sudaryatmo melalui telepon, Senin (27/11).
“Kalau rumah sakit pemerintah kan dananya keluar dari BPJS, masuk ke pemerintah. Kalau swasta, potensi fraud cukup tinggi. Misalnya kehamilan bisa normal, tapi justru diambil tindakan sesar yang lebih mahal,” ucapnya menambahkan.
Di luar itu, Sudaryatmo menyebut pemerintah sebaiknya memperketat regulasi untuk peserta jaminan kesehatan dalam kategori mandiri atau warga negara bukan penerima upah.
Sebagian peserta mandiri, kata Sudaryatmo, mendaftar BPJS ketika sudah mengidap penyakit atau saat membutuhkan penanganan medis.
“Di asuransi komersial, nominal premi peserta yang sudah mengidap penyakit tinggi. Di BPJS, setelah mendapat tindakan, mereka justru tidak aktif membayar iuran,” kata Sudaryatmo.
Hingga September 2017, peserta BPJS Kesehatan mencapai 181 juta orang. BPJS mengakui, dari angka itu, 10 juta peserta yang mayoritas masuk kategori mandiri kerap menunggak pembayaran iuran.
Selama tiga tahun terakhir keuangan BPJS selalu negatif. Pada tahun 2014 defisit anggaran perusahaan publik itu mencapai Rp3,3 triliun.
Angka itu membengkak menjadi Rp5,7 triliun tahun 2015 dan Rp9,7 triliun pada 2016.
Adapun, hingga semester pertama 2017, defisit BPJS Kesehatan telah mencapai Rp5,8 triliun dan diperkirakan akan bertambah menjadi sekitar Rp9 triliun di akhir tahun.
PEMERINTAH STOP BERIKAN MODAL
Sebagai solusi ‘besar pasak daripada tiang’, pemerintah tahun 2016 menyuntikkan penyertaan modal negara (PNM) sebesar Rp6,8 triliun kepada BPJS. Modal itu dicairkan untuk menambah aset bersih.
Namun Oktober lalu pemerintah menyatakan tidak akan memberikan modal baru untuk BPJS pada tahun 2017.
Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR pekan lalu, jajaran direksi BPJS berbicara tentang skema cost sharing sebagai salah solusi pencegah defisit anggaran yang diterapkan sejumlah negara.
Di berbagai pemberitaan, muncul pula isu BPJS bakal mengurangi pembiayaan untuk penyakit katastropik atau penyakit berongkos tinggi.
Saat isu tersebut terus menuai kritik, Juru Bicara BPJS, Nopi Hidayat, menyebut perusahaannya tidak akan menerapkan dua solusi tersebut.
“BPJS bukan regulator. Kami tidak dalam kapasitas mengusulkan, tapi hanya memberikan gambaran yang terjadi di negara lain,” ujar Nopi kepada BBC Indonesia.
Nopi menuturkan, penyakit katastropik, yakni gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hepatitis, thalassemia, leukimia, dan hemofilia, selama ini menyedot sebagian besar anggaran BPJS.
Sampai September 2017, biaya perawatan penyakit katastropik yang telah dikeluarkan BPJS mencapai Rp12,29 triliun. Nominal itu setara 19,68% dari total pelayanan kesehatan yang dibayarkan BPJS selama periode yang sama.
Untuk membiayai penyakit katastropik, Nopi menyebut pemerintah sejak 2003 hingga 2013 memberikan subsidi kepada BPJS. Tahun 2014, ketika PT Askes (Persero) diubah menjadi BPJS, subsidi itu tak lagi dicairkan.
Selain penyakit katastropik, Nopi menyebut defisit juga muncul dari selisih antara beban nyata yang ditanggung BPJS dan iuran yang dibayar peserta jaminan kesehatan.
Untuk kelas 3 misalnya, nilai aktuaria kesehatan sebenarnya Rp53.000, tapi peserta BPJS hanya ditarik iuran sebesar sekitar Rp45.000.
ALOKASI PAJAK ROKOK
Hingga berita ini diturunkan, pemerintah belum memutuskan jalan keluar untuk menghadapi defisit anggaran BPJS. Rapat tingkat menteri Oktober lalu telah digelar di Kemeko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Sembilan opsi muncul pada rapat itu. Satu yang dipaparkan ke publik oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani adalah rencana alokasi pajak rokok untuk BPJS.
Merujuk UU 28 Tahun 2009, pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut pemerintah pusat dan disetor ke pemerintah daerah secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
Beleid itu mengatur, 50% dari pajak rokok digunakan untuk pelayanan kesehatan, sebagai ganti penyakit yang ditimbulkan rokok.
Sebagian dari pajak rokok itulah yang diwacanakan akan diberikan ke BPJS untuk menutup defisit. Demikian dilansir dari BBC News. (IJN)