Published On: Ming, Mei 31st, 2015

Banyak Media Online Tak Patuh Kode Etik Jurnalistik

Share This
Tags

online news

Semarang,IJN.CO.ID – Perkembangan media online yang sedang tumbuh pesat tak diimbangi dengan kepatuhan pada kode etik jurnalistik. “Ada 30 persen media online di Indonesia mempraktekkan jurnalisme tanpa akurasi dan melanggar kode etik jurnalistik,” kata Nezar Patria Anggota Dewan Pers dalam diskusi di Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang, Sabtu, 30 Mei 2015.

Nezar menyatakan 30 persen media online itu didirikan terkadang bukan dengan niat untuk kerja jurnalistik dan kepentingan publik. Sebaliknya ada banyak orang mendirikan media online dengan tujuan kepentingan politik, ekonomi, kekuasaan, hingga tujuan untuk melakukan pemerasan.

Karena digunakan untuk kepentingan pribadi maka media yang tak patuh kode etik jurnalistik cenderung dengan niat iktikad buruk. “Iktikad buruk itu satu tingkat di bawah fitnah dengan sengaja,” katanya. Karena media online yang tak patuh pada kode etik jurnalistik tergolong banyak, maka mereka ini sangat rawan untuk diadukan maupun digugat.

Data di Dewan Pers menunjukkan pada tiga tahun lalu media yang diadukan ke Dewan Pers selama setahun sebanyak 470 media. Dari jumlah itu sebanyak 90 di antaranya adalah media online.” Adapun dua tahun lalu, media yang diadukan ke Dewan Pers meningkat menjadi 763 media. Sebanyak 193 di antaranya adalah media online,” jelas Nezar Patria seperti dilansir dari Tempo.co.id.

Rata-rata pelanggaran media online adalah soal akurasi. Padahal, media online yang mediumnya bisa disimpan dalam data Internet harusnya disiplin verifikasi. Ia mencontohkan kasus selebritas Ahmad Dani yang diberitakan belasan media online akan memotong alat kelaminnya jika Joko Widodo-Jusuf Kalla menang dalam pemilihan presiden 2014.

Berita itu hanya bersumber dari akun yang mengatasnamakan Ahmad Dani. Belakangan diketahui, akun itu ternyata palsu. Dewan Pers sudah memutuskan, bahwa media online yang salah itu wajib memulihkan nama baik Ahmad Dani. Tapi, dari 17 media online yang dipanggil Dewan Pers ada delapan media online yang menolak hadir. “Ini menjadi preseden buruk praktik media online,” kata Nezar. (jef)