Apakah Indonesia dalam Situasi Darurat Militer?

Ilustrasi/Istimewa

Jakarta,IntiJayaNews.com – Wakil Panglima TNI Jenderal Tandyo Budi Revita mengklaim tidak ada skenario menuju pendekatan darurat militer dalam menindak berbagai kerusuhan dan kericuhan yang terjadi dalam gelombang unjuk rasa sepekan terakhir.

Sementara, pengamat militer sekaligus Koordinator Centra Initiative Al Araf menerangkan di Undang-Undang TNI Nomor 3 Tahun 2025 memang membuka ruang kemungkinan pelibatan militer dalam perbantuan kepolisian.

Bisa dalam bentuk Operasi Militer untuk Perang (OMP) serta Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Akan tetapi sifatnya terbatas dan dengan syarat yang tertuang dalam peraturan pemerintah.

Masalahnya, kata Al Araf, peraturan pemerintah itu hingga saat ini belum ada.

“Ini yang saya kritik sejak revisi UU TNI. Kritik utama saya adalah Anda [DPR] memberikan cek kosong di dalam pelibatan militer dalam penanganan dalam negeri,” jelas Al Araf kepada BBC News Indonesia, Senin (01/09).

“Ini berbahaya karena kita tidak tahu [pelibatan militer] sampai kapan dan berapa lama,” sambungnya.

Terlepas dari itu, Al Araf menilai saat ini tidak ada hal genting yang memerlukan perbantuan militer.

Aksi protes masyarakat yang terjadi beberapa hari belakangan ini, menurutnya, tidak datang dari ruang hampa.

Tapi ekspresi dari kegagalan negara dalam memberikan keadilan sosial dan ekonomi kepada masyarakat yang kemudian diperparah oleh arogansi pejabatnya.

“Sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan yang terjadi hari ini, yang berbentuk kemarahan masyarakat. Tapi penanganannya justru tidak proporsional dan cenderung excessive use of force yang akhirnya menimbulkan kematian seorang pengemudi ojek online,” paparnya.

“Kalaupun ada dinamika pembakaran, sifatnya selektif lebih banyak ke kantor polsek atau DPRD.”

“Dan jika lihat faktanya, masyarakat tidak menggunakan senjata api, tidak punya granat dan ini hanya sebatas ekspresi kemarahan akibat peristiwa ojek online serta akumulasi ketidakadilan itu,” jelasnya.

Untuk meredam gejolak tersebut Presiden Prabowo, kata dia, semestinya meminta maaf, kemudian memastikan akan melahirkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat, serta mengoreksi semua keputusan yang keliru.

Bukan malah membuka ruang keterlibatan militer.

Pendekatan keamanannya pun masih bisa dikelola oleh perangkat sipil.

“Hal itu masih bisa dimungkinkan dengan cara bagaimana institusi kepolisian harus benar-benar profesional, proporsional, dan persuasif dengan masyarakat,” jelas Al Araf.

“Tidak melakukan langkah-langkah represif lagi seperti kasus ojek online.”

Itu mengapa, Al Araf mempertanyakan pernyataan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin yang seakan-akan menunjuk TNI untuk mengambil alih upaya keamanan.

“Hal tersebut salah dan keliru, karena secara konstitusional fungsi TNI adalah sebagai alat pertahanan negara. Fungsi keamanan ada di kepolisian,” terangnya.

“Jadi saya melihat apa yang dikatakan Menhan berbahaya dalam situasi kekinian.”

“Seandainya ada keterlibatan militer Presiden harus menjelaskan untuk apa, berapa lama, pasukan dari mana, anggaran dari mana, berapa lama, dan bagaimana pengawasannya?” ungkapnya.

“Sayangnya pengerahan sudah terjadi dan kita tidak tahu untuk apa, berapa lama, legitimasi dasarnya apa. Ini yang nanti menjadi masalah karena masyarakat menganggap kita akan masuk dalam situasi darurat militer.” (Sumber: BBC News)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *